Destania Ardiyaningtyas
“LO
tahu nggak San, siapa mata-mata Bu Nania di lorong kita ? tanya Tika penghuni
kamar 012.
“Si Bela ketua kelas kita kali. Dia
kan sering banget ketemu Bu Nania buat ngasihin absensi tiap kegiatan,” Santi
menyahut sambil tetap mengguyur badannya dengan air di bak mandi.
“Kalau menurut lo, La?”
“Ah man gue tahu. Tapi intinya tega
banget tuh orang yang mau jadi mata-mata Bu Nania. Mau dikeroyok orang selorong
apa? Awas aja kalau ketahuan,” ancam si Lia si super bawel di lorong”Ceria” ini
Tak ada satu kata pun yang hilang
dari telingaku tentang senua pembicaraan mereka. Kebetulan aku sedang mencuci
baju di kamar mandi. Jadi dengan sengaja aku pun menyimak pembicaraan mereka .
Sama seperti mereka. Penasaran. Teringat kembali dalam pikiranku tentang
kata-kata Bu Nania semalam, saat kami mengadakan acara rutin mingguan makan
bersama.
“Seperti yang kalian ketahui, di
lorong kita ini sudah tidak aman lagi. Banyak yang melanggar peraturan walau
sudah sering ibu peringatkan. Ada yang berlarian dari kamar mandi hanya
mengenakan handuk, ada yang bawa alat elektronik hingga lampu kamar semua mati.
Pada hal kalian tahu daya listrik disini terbatas. Yang paling memprihatinkan
adalah peristiwa hinganya Handphone
milik Novi. Peraturan dibuat itu untuk ditaati bukan untuk dilanggar! Ibu
kecewa pada kalian semua. Dan tolong kalian pikirkan kata-kata ibu tadi.”
Semua diam mendengar ceramah singkat
Bu Nania. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Mungkin sama seperti aku
yang sedang merenungi semua pelanggaran yang pernah kulakukan. Kecuali mencuri
Handphone Novi. Belum semua sadar dengan lamunannya masing-masing, Bu Nania
melanjutkan ceramahnya tadi.
“Sebagai penanggung jawab di lorong
ini, ibu minta maaf tidak bisa memantau kalian secara langsung dan terus
menerus,” semua terlihat lega dan sedikit menyunggingkan senyum kemenangan
pertanda kebebasan akan segera dimulai. Begitu juga aku.
“Untuk itu, ibu akan pilih dua orang
di antara kalian yang akan jadi mata-mata di sini. Tapi hanya ibu dan dua orang itu yang tahu. Jangan
pernah kalian berpikir bahwa dua orang itu terbebas dari pantauan karena satu
sama lain dari mereka pun tidak saling tahu.
Jadi sebenarnya mereka berdua juga saling memata-matai. Ibu harap kalian
mengerti.” Lagi-lagi semua diam saling memandang seakan ada pertanyaan yang
sama dari tiap sorot mata mereka.
“Lo ya orang itu?”. Dan bagi mereka
yang mendapat tatapan aneh seakan tersirat jawaban “Bukan! Bukan gue… Sumpah.”
Setelah peristiwa makan malam bersama, gossip tentang mata-mata Bu Nania
terus berkembang seakan jadi saling
tuduh dan saling mencurigai.
********
“Aneh…” batinku ,“Mereka berubah”.
Tatapan mereka membuatku tersudut
seakan ada tuduhan kejam untukku.
Kurebahkan badanku di ranjang susun
tempat aku melepas lelah tiap hari. Hampir saja aku lupa sesuatu yang sangat
penting. Aku harus menyelesaikan tugas kimia untuk besok pagi. Tapi aku nggak
punya buku kimia sebagai bahan tugas itu. Aku bergegas Novi. Kamarnya tepat di
depan kamarku. Tiga kali kuketuk pintu kamarnya. Ada perasaan aneh dan nggak
nyaman menyelinap dalam hatiku.
“Mau apa lo?” Tanya Novi sinis
hingga membuyarkan lamunanku. Hanya kepalanya saja yang nongol dari balik
pintu. Seakan aku nggak boleh masuk. Aku mendengar ketiga temannya
berbisik-bisik nggak jelas. Tapi aku yakin korban pembicaraan mereka adalah
aku.
“Nov, aku mau pinjem Modul Kimia
kamu. Boleh nggak?”
“Nggak ada buat Lo!” katanya sambil
cepat menutup pintu. Takut aku memaksa masuk dan mengambil bukunya dengan
lancing. Aku tak menyerah.
“Ika…Ika… bukain pintu dong!” Satu
kepala lagi nongol dari balik pintu yang hanya terbuka sedikit.
“Ada apa? Mau apa lo?”
“Mau pinjem Modul Kimia kamu, boleh
nggak?” Kukuatkan hatiku menerima muka muak Ika yang aku yakin dia persembahkan
untukku. Dan aku makin yakin pasti jawaban yang akan meluncur dari mulut Ika
nggak jauh berbeda dengan Novi tadi.
“Nggak ada buat lo!”.
Tepat sekali dugaanku. Aku tetap tak
putus asa. Kuketuk beberapa kamar dengan tujuan yang sama. Tapi hasilnya nihil.
Aku mendapat perlakuan yang sama. Bahkan ada yang tega mengeluarkan
sindiran-sindiran pedas yang aku sendiri nggak tahu apa maksud sindiran itu. Kini aku benar-benar kesal.
Kuurungkan niat pinjam buku milik teman-teman satu lorong, juga milik
teman-teman sekamarku yang perlakuannya nggak jauh berbeda dengan yang lain.
Kecuali Anti yang ranjangnya persis di atasku.
Dia masih punya hati.
********
“Gue salut sama lo… lo… semua.
Ternyata lo bisa juga nahan orang daerah itu biar nggak masuk kamar lo semua.
Kita mesti hati-hati sama dia! Jangan sampai dia masuk kamar lo semua, kalau lo
memang nggak mau dilaporkan ke Bu Nania,” Lila memprovokasi semua anak-anak
lorong dengan sempurna. Dan bodohnya semua tersihir oleh buaian Lila si cerewet
parah.
“Iya bener… dia udah mulai aneh,
makanya mumpung nggak ada orangnya, gue ama Lila kasih tahu lo semua bahwa
Fitri, orang daerah itu adalah mata-mata Bu Nania. Kurang baik apa coba?” Santi
dengan semangat membara menguatkan pernyataan Lila.
“Nggak mungkin, Gue tahu Fitri, dia
temen sekamar gue. Dia bukan tipe orang yang bisa dijadikan mata-mata. Percaya
deh ama gue! Di kamar pun dia nggak aneh-aneh sama sekali. Biasa aja kok,” Anti
menyanggah mentah-mentah provokasi Lila dan Santi.
“Terus siapa dong?” tanya Novi
penasaran yang juga di “iya” kan oleh seluruh peserta ngerumpi.
“Mana gue tahu. Ya udah nggak usah
dibahas lagi. Yang terpenting mulai dar sekarang kita harus belajar untuk
menaati peraturan. Jadi, ada nggaknya mata-mata di sini nggak akan ngaruh buat
kita. Buat apa juga ngabisin waktu ngomongin hal nggak jelas gini,” kata Anti
mantap dan meyakinkan semua peserta rumpi.
“Dan lagi tega banget sih kalian
nyebarin berita yang belum tentu benar. Fitnah, tahu!” Tambah Anti penuh emosi.
“Fitri itu baik. Memang diantara kita, dia paling jarang melanggar peraturan.
Tapi bukan berarti dia mata-mata itu!” kata Anti lagi. Dia nggak rela melihat
temannya difitnah, diperlakukan tidak adil, bahkan dijadikan sebagai bahan
gunjingan.
*******
Selang beberapa hari setelah perang
argumen antara Lila, Santi dan Anti, perkumpulan antara ketua kelas dan
wakilnya Lila dan Santi serta semua anggotanya termasuk Anti berlangsung
kembali. Aku yang baru saja selesai mengerjakan PR di kamar, ingin ikut
nimbrung di kerumunan mereka. Baru aku memegang gagang pintu hendak keluar, aku
mendengar sesuatu.
“Sekarang gue yakin mata-mata itu
adalah Bela dan Fitri. Gue udah melakukan penelitian. Si bela tiap hari ketemu
Bu Nania dan Fitri dia orang daerah. Sifat orang daerah itu tunduk dan patuh.
Selain itu Fitri juga jarang melakukan pelanggaran.
Aku kaget mendengar semua
itu.Kuurungkan niatku bergabung dengan mereka. Tubuh ini serasa tak bertulang
lagi. Aku baru mendapat jawaban atas anehnya perlakuan mereka padaku.
“Kenapa sih kalian semua masij aja
ngomongin masalah nggak jelas ini? Terutama ama lo…lo…!” Anti menunjuk Santi
dan Lila. Tak tahan, diapun pergi.
Aku senang mendengar sanggahan Anti
yang masih mau membelaku. Dan kini kuberanikan diri untuk keluar.
“Lagi pada ngomongin apa nih? Ikutan
dong,” aku membaur dengan mereka dan pura-pura nggak tahu.
“Ngomongin lo,” kata Lila ketus.
“Udah deh lo ngaku aja! Lo kan mata-mata Bu Nania itu? Iya kah?”
“Iya ngaku aja lo!” semua serentak
menyudutkanku dan menguatkan tuduhan Lila untukku.
“Idih bukan aku! Emang kamu nggak
tahu kalau aku juga pernah melanggar peraturan. Sama juga kan seperti kalian?
Lalu kenapa kalian menuduhku? Dan tuduhan kalian nggak masuk akal. Aku udah
dengar Karena aku anak daerah? Ya nggak nyambunglah. Janagan-jangan malah ada
diantara kalian? Coba tanya aja sama orang yang selalu semangat ngomongin
mata-mata Bu Nania. Nggak ada sejarahnya
kan penjahat ngakuin kejahatannya?” jawabku tak kalah galaknya dengan Lila
tadi.
“Kok jadi gue sih? Kenapa kalian
jadi melototi gue?” Lila kebingungan menerima tatapan semua anak. Dia juga
kebingungan mencari tempat untuk menyimpat muka pucatnya. Semua tersentak kaget
ditambah dengan berubahnya muka Lila yang makin menguatkan tuduhanku.
“Belum tentu Bela juga. Dia kan
ketemu Bu Nania hanya untuk ngasih
absensi. Emang mentang-mentang ketemu tiap hari Bu Nania langsung percaya
begitu saja sama Bela? Nggak juga kan?” tambahku semangat.
Bela adalah satu-satunya anak lorong
ceria yang nggak pernah ikutan ngerumpi. Baginya ngomongin hal-hal nggak
penting adalah buang waktu percuma. Makanya dia jarang ada di asrama. Sesekali
ada di asrama, bisa dipastikan dia baru saja ketemu Bu Nania untuk ngasih
absensi. Itupun hanya sebentar. Waktunya dia habiskan untuk melahap buku
terbaru di perpustakaan.
Suasana jadi tegang dengan perubahan
muka Santi yang tak jauh beda dengan Lila. Lila semakin tersudut.
“Lo, San?” tanya Tika nggak percaya.
Tak kusangka Tika masih ingat
perbincangannya saat di kamar mandi beberapa hari lalu. Sebenarnya aku iba
melihat Lila dan Santi yang diam tersudut oleh keadaan. Semua memandang kearah
mereka berdua, kesal merasa dibohongi. Terlihat dari tatapan mata mereka bahwa
mereka ingin menyangkal semua tuduhanku. Tapi tak berani mereka lakukan.
Mungkin karena mereka melihat tatapan mataku yang jauh lebih ganas karena
diliputi emosi. Dan aku membaca pikiran mereka. Semakin mereka membantah
tuduhanku, maka mereka akan makin tersudut. Keputusan mereka memang tepat.
Memilih diam dan menerima kenyataan.
******
Lama-kelamaan berita tentang mata-mata
Bu Nania hilang tak terdengar lagi. Semua rasa penasaran telah terjawab. Sejak
saat itu, aku jadi pribadi pendiam. Ada kebiasaan baru dalam hidupku yang
selalu kulakukan setiap malam menjelang pergantian hari. Yaitu menulis catatan
kecil. Tapi anehnya aku tak mengerti apa yang kutulis. Hanya ada tiga angka dan
tiga huruf tertulis di dalamnya. Hanya aku yang dapat membacanya. Tiap kali aku
mengisi buku kecil sedikit tebal berwarna biru langit ini, hatiku terasa berat.
KMN (Kimono handuk), CLP (celana pendek),
HND (handuk), NOK (nomor kamar), dan NMA (nama). Dan rangkaian kalimat di
bawahnya tertulis Nggak ada sejarahnya
seorang penjahat mengakui kejahatannya…
Bu Nania percaya padaku.
Maafkan aku teman… Semua tertulis
dengan rapi di bawah sebuah judul yang terbaca dengan jelas pada halaman
pertama
LAPORAN PELANGGARAN PERATURAN
–LORONG CERIA ASRAMA MELATI-
Tepat dua hari setelah acara makan
bersama aku mendapatkan buku kosong kecil dan sedikit tebal berwarna biru
langit dari Bu Nania.
(Majalah :"Gogirl" - Oktober 2011)
Cerpen pop yg dimuat di majalah "Gogirl" jkt karya "Nia" ini dihargai cukup mahal, selamat mbak Nia terus rajin menulis...
BalasHapus