Halaman

Jumat, 16 Desember 2011

CerpenKU :

Ariadi Rasidi :
S  E  P  E  D  A

              Hari ini Pak Burhan bagaikan sebuah mobil kehabisan bahan bakar. Seharian penuh ia hanya duduk di kursi kerjanya. Kursi empuk yang bisa diputar-putar.
       Sebagai direktur perusahaan yang bergerak dibidang kontraktor, setiap pagi, selepas memeriksa surat-surat penting yang harus segera didisposisikan ke staf serta yang harus ditandatangani, Pak Burhan selalu mengelilingi ruangan demi ruangan, memeriksa para stafnya. Kemudian ia berdinas luar memeriksa pekerjaan lapangan yang menjadi tanggung jawabnya. Terutama yang harus secepatnya terselesaikan sebelum jatuh tempo penyelesaiannya. Atau menghadiri rapat-rapat tender bersama perusahaan kontraktor lain.
       Tak seperti hari-hari kemarin. hari ini tampak Pak Burhan enggan bekerja. Semangat kepemimpinannya luntur. Berulang kali telepon berdering dari koleganya namun tak satupun dijawab langsung. Kepada sektretarisnya ia berpesan ,"jika ada telepon untukku katakan saya sedang keluar. Catat saja apa yang mereka kehendaki dan akan saya selesaikan esok hari."
                Kali ini sekretarisnya buru-buru masuk ke ruangan Pak Burhan dengan wajah gelisah, "Pak ada telepon untuk ba......"
         "Sudah saya katakan , catat saja permintaan mereka," sang direktur memotong kalimat sekretarisnya  dengan bentakan.
         "Tapi kali ini dari ibu..."
         "Apa!"
         "Dari ibu di rumah, pak," sekretarisnya mengulang dengan nada pelan takut jika Pak Burhan marah.
         Pak Burhan bangkit. Diraihnya gagang telepon secepatnya. Ia memberi isyarat kepada sang sekretaris agar segera keluar dari ruang kerjanya. Disandarkan tubuhnya ke dinding sembari mendengarkan kalimat-kalimat di ujung lain pesawat telepon. " Itu sedang saya pikirkan disini, bu. Saya pusing memikirkannya."
         Pak Burhan kembali mendengarkan kata-kata istrinya melalui pesawat telepon itu.
         "Apa? Cerai?" pak Burhan tampak terperanjat. Rona wajahnya langsung bagai kapas. Buru-buru ia melanjutkan kalimat, "Baik bu, nanti siang pasti sudah ada kepastian," jawabnya lalu meletakkan gagang telepon. Ia menoleh pada sekretarisnya. Tapi yang ditoleh seolah-olah tak mendengar percakapan direkturnya.
         Pak Burhan duduk kembali di kursi kerjanya. 

00000

         Peristiwa semalam, pertengkaran dengan istrinya sebelum berangkat tidur, kembali melintas di dalam benaknya. Pertengkaran paling hebat yang pernah terjadi setelah lima tahun membina mahligai rumah tangga. Suatu rumah tangga yang bahagia kendati belum dikaruniai  permata hati oleh Yang Maha Kuasa.
         "Pak, maukah panjenengan meluluskan permintaanku kali ini?" pinta istrinya malam itu. 
       "Tentu akan kupenuhi semua permintaanmu sepanjang bisa saya laksanakan, bu," jawab Burhan pasti.
         "Aku ingin berkeliling kota Semarang bersamamu pak," istrinya menatap sang suami.
         Burhan tertawa setelah mendengar permintaan istrinya itu. Bagi pak Burhan, itu merupakan suatu permintaan mudah. mengelilingi kota Semarang bersama istri paling lama hanya ditempuh selama 4 sampai 5 jam menggunakan mobil mewahnya.
         "Jangan tertawa dulu, pak," istrinya tak senang menyaksikan suaminya mentertawakan permintaannya.
          "Permintaanmu itu sangat sepele bu. saya akan memenuhinya," hibur Burhan pada istrinya.
          "Tapi bukan naik mbil kita lho pak."
          Burhan terperanjat, "lalu kita naik apa bu?"
          " Naik sepeda."
          " Sepeda motor, bu?"
          " Bukan."
          " Lalu? "
          " Sepeda onthel, pak," jawab istrinya dengan nada merajuk.
          " Apa, Bu/" Burhan seperti disengat kalajengking. Tapi hanya beberapa saat kemudian ia dapat mengendalikan emosinya. Lanjutnya kemudian, " itu tidak mungkin, bu. Mana saya kuat memboncengmu di atas sadel sepeda onthel. Selain itu akan menjatuhkan martabatku sebagai direktur PT Angin Ribut. Apalagi bila dilihat karyawanku, bu."
          " Tapi pak dengan naik sepeda hitung-hitung kita sembari berolahraga. Bukankah panjenengan tidak pernah olah raga pak?" istrinya tetap pada permintaannya.
           " sekali lagi bu, jika naik sepeda onthel orang akan mentertawakan kita. Martabat kita jatuh bu. Kita harus bisa menjaga wibawa dan gengsi. ," jawab Burhan tak mau kalah.
          "Soal naik sepeda onthel jangan dikaitkan dengan gengsi, pak."
           " Pokoknya saya tidak mau, titik."
          " Pak ini adalah permintaan istrimu, yang katanya paling kau cintai. mana buktinya, pak?" istrinya mulai menjerit. Pipinya basah air mata.
          Burhan tak menjawab. Ia membalikkan tubuhnya, membelakangi sang istri.
          Istrinya semakin terisak, "Baiklah pak jika panjenengan tak mau memenuhi permintaanku, sebaiknya secepatnya aku kau ceraikan saja."
          Burhan membalikkan tubuhnya lembali. Ditatapnya sang istri yang tengah terisak-isak. "Sejauh itu ancamanmu terhadapku bu?"
           "Apa boleh buat. Ini merupakan permintaanku terakhir..."

00000

          Inilah yang membuat Burhan pusing tujuh keliling di kantor. Permintaan istrinya kali ini teramat aneh di matanya. Burhan teramat cinta pada istrinya meskipun telah lima tahun belum bisa memberikan anak. Ia selalu memenuhi segala permintaan istrinya, senantiasa memeperhatikan kebutuhan istrinya. Tapi kali ini Burhan bagaikan harus menelan buah simalakama. Kalau ia memenuhi permintaan istrinya berarti harus mengayuh sepeda onthel berkeliling kota Semarang. Selain itu Burhan takut gengsinya sebagai direktur terkenal. Bila tidak memenuhi ia khawatir ancaman istrinya bukan ancaman biasa. Ia teramat takut kehilangan istri yang paling dicintainya.

00000

         MINGGU pagi yang cerah. Burhan dan istrinya menyusuri jalan-jalan sepanjang kota Semarang. Burhan tampak kepayahan mengayuh pedal sepeda . Keringatnya mengucur basahi seluruh tubuh. Istrinya duduk di boncengan belakang sembari tersenyum-senyum. Senyum simpul senantiasa terkulum dari bibirnya.
         Ketika sampai di perempatan Bangkong terdengar sebuah suara wanita memanggil pak Burhan. Burhan menoleh. Burhan terkejut setelah mengetahui yang memanggil adalah sekretarisnya. Sepeda yang sedang dikayuh oleng. Untung tak sampai jatuh.
         "Siapa dia pak?" istrinya bertanya.
         "Karyawan kantor," Burhan menjawab sekenanya. Lanjutnya kemudian, "Saya malu bu."
         Istrinya tertawa terpingkal-pingkal.
         "Mengapa tertawa bu?" sergah Burhan tak senang.
         "Tenang pak, panjenengan jangan marah dulu," jawab istrinya.
         pak Burhan menggerutu.
         "Panjenengan bukan memenuhi permintaan istri, pak."
         "lalu permintaan siapa, bu?"
         "Anakmu."
         "Anakku?" spontan Burhan menghentikan laju sepeda. Ditoleh sang istri yang tengah duduk di boncengan.
         "Ya, sudah dua bulan ini aku tidak menstruasi, pak," terang istrinya.
         "Benarkah itu semua, Bu?"
         Istrinya menganggukkan kepala sembari tersenyum.
         Pak Burhan kegirangan. Dikayuhnya terus pedal sepedanya. Tak ada lagi rasa gengsi yang mengintai di hatinya. Terus tak mengenal lelah. keringatnya bercucuran, membasahi seluruh tubuh, disela geriap lalu lintas kota Semarang. *****


Imajinasi Semarang
    




         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar